Sabtu, 14 Agustus 2010

Maafin Na, ayah...

Aaamin… kututup do’a ku seraya mengusap air mata yang mengalir di pipi… aku masih tertegun di gundukan tanah itu,, kenangan-kenangan masa lalu berkelebat di pikiran ku.. Ah, tapi kenangan hanya tinggal kenangan,, yang tersisa hanyalah penyesalan belaka…

***

“Na ga mau ayah, Na ga suka. Na maunya masuk ke sekolah favorit,, SMA favorit,, ayah kan udah janji sama Na”, protesku saat ayah tidak mengabulkan keinginanku untuk masuk ke SMA favorit. Kenapa sich keinginanku tidak di kabulkan,, sementara kakak ku dengan bebas menentukan pilihannya sendiri. Aku tidak bisa menerima ketidak adilan ini, aku juga ingin dituruti, bukan selalu menuruti. “ini semua kan untuk Na juga, makanya ayah ga mau menyekolahkan Na di SMA favorit”, ibuku menengahi perdebatanku dengan ayah. “Tapi bunda….”, kata-kataku tercekat di kerongkongan. Aku tak pernah bisa membantah mereka, walau di awal aku akan bersikeras dengan pilihanku, tapi pada akhirnya aku tetap mengalah.

Pada akhirnya aku menghabiskan masa remajaku di sekolah pilihan ayahku. Benar kata mereka, ini semua untukku, untuk kebaikanku. Seminggu lagi aku yudisium, hmmm akhirnya tamat juga dari sekolah ini. “Na, kamu di panggil ke kantor tu”, seru teman ku. What??? Kantor??? Oh tidak,,ada apa ini?? Bahkan aku tak pernah melakukan kesalahan,, aku termasuk murid teladan di sekolah. Kenapa bisa di panggil??? Dengan perasaan tak tenang, aku segera melangkahkan kakiku ke kantor.

“selamat ya Na, berkas-berkasmu diterima di Universitas Negeri Malang jurusan Manajemen”, sambut kak Irma saat melihat kehadiran ku di kantor. “iya kak?? beneran?? Selain Na,,siapa lagi kak??” balas ku. “Tuh si Nisa juga lulus”, jawabnya. Setelah mendengarkan penjelasan gono gini,, aku pun kembali. Akhirnya,, keinginanku terkabul.. aku tak perlu bersusah-susah ujian masuk PTN lagi. Owh,, senangnya. Tapi ayah??? Apa beliau setuju???tidak,,tidak, kali ini aku harus disetujui.

***

Hiks hiks.. Air mataku masih mengalir mengingat kenangan itu, keberangkatan ku ke Malang. Bahkan sebelumnya diwarnai dengan perdebatan antara aku, ayah dan ibuku. Aku menganggap pikiran mereka terlalu kolot, masih saja mengekang anaknya untuk meraih cita-citanya menjadi seorang pakar ekonomi. Apa salahnya, tidak semua anak harus menjadi dokter kan?? Bisa-bisa kebanjiran dokter negeri ini, andai saja setiap anak diwajibkan menjadi dokter oleh orang tuanya.

Aku berangkat ke bandara sendiri, semua-semuanya kulakukan sendiri. “Hmm, belajar mandiri dari sekarang”, batin ku. Sedih sich,, tanpa ayah dan ibu yang mengantar. Tapi tak apa,, daripada mereka menggagalkan keberangkatanku kali ini. Empat tahun kuhabiskan waktuku untuk menyelesaikan studi disini, beruntungnya aku berhasil menyandang gelar cumlaude dan dikontrak oleh sebuah perusahaan besar ternama. Yah, empat tahun yang kuhabiskan tanpa menjenguk kampung sekalipun,, rasa kesal, marah dan ego membuatku enggan melakukannya. Bahkan komunikasipun hanya beberapa kali dalam setahun. Tiap ibu menelponku,, aku jarang menggubrisnya karena aku selalu saja terkenang peristiwa dimalam sebelum keberangkatanku.

***

“Kalau kamu memang berniat kesana, pergilah. Ayah tidak akan pernah melarang mu lagi, lakukan apa yang menurutmu baik untuk dilakukan. Tapi ingat, ayah tidak mau membiayai kuliahmu”. Aku tersentak mendengarnya, bagaimana mungkin aku hidup di kota orang tanpa dibiayai. Tapi,ego memaksaku menjawab, “baik ayah, Na akan buktikan kalau Na bisa, tanpa biaya dari ayah”. Aku segera berlari ke kamar, ku hempaskan tubuhku, menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua lara dan kesal di hati. Aku berharap ada yang membantuku. “Na, tenanglah nak, ayahmu tidak mungkin begitu, beliau hanya tidak ingin kamu kesana. Berangkatlah nak jika kamu ingin berangkat, bunda tetap merestuimu”.

Ah, bunda memang selalu menjadi malaikat penolongku. “Tapi bundaaa….”. “Sudahlah, biar nanti bunda yang bujuk ayah, sekarang kamu janji ya kalau disana nanti akan tekun belajar !”, pintanya padaku.

***

“Na, ayo kita pulang. Tidak baik menangisi yang telah dipanggil oleh-NYA, lebih baik kita kirimkan do’a untuk ayah, semoga amal dan ibadah beliau diterima, dan beliau di tempatkan di tempat yang layak disisi-NYA”. Aku mengamini ucapan mas Rian, lalu beranjak dan mengikutinya ke mobil. Beruntungnya aku bisa bersanding dengan seorang lelaki pilihan yang nyaris sempurna, baik, alim, pintar, dan selalu mengingatkanku saat lupa dan salah.

Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam membisu, menelusuri bait-bait penyesalanku, bunga-bunga kebodohanku, dan istana keegoisanku. Ayah pasti bahagia sekali jika saat-saat terakhir aku ada di sampingnya, menemaninya bercerita hanya untuk sekedar menghabiskan hari. Ayah juga pasti bangga tak ayalnya orang tua lain jika saja aku minta untuk hadir di acara wisudaku, apalagi saat itu aku berhasil meraih gelar sarjana dengan peringkat cumlaude, bahkan bisa mendapatkan kontrak kerja dengan perusahaan ternama. Tapi, kini semua hanyalah angan yang tak mungkin terwujud, yang hanya bisa ku titipkan pada awan dan burung yang tengah berkicau.

Setibanya di rumah, ku basuh anggota wudhu’ ku, lalu kugelar sajadah panjang. Allahu akbar, takbiratul ihram mengiringiku untuk berjumpa dengan-NYA. Ku akhiri dengan untaian do’a panjang dan surah Yasin untuk ayah. “Shadaqallaahul’adhiim”, kucium mushaf kecil pemberiannya. Sekarang, semua telah terlambat, aku berjanji pada ayah untuk selalu menjadi yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman

Free Blog Templates

welcome to my blog...
sharing ilmu, cerita-cerita atau ngegosip disini......
hehe

this is a very simple blog..because I'm a newbie here...

^_^
Powered By Blogger

Friends Link

Tag Cloud

My Playlist

 
Template by Administrator Frelia | Anak SD | Blogger